Monday, April 25, 2011

Kisah Tentang Sawah dan Petani

Pagi tadi sebelum berangkat kantor saya melihat seorang ibu berkata kepada anaknya "ayo nasinya dihabiskan kalo maem, kalo ga abis nanti ayamnya mati lho", sebuah pesan yang sangat bagus mengingat nasi adalah lambang rejeki yang kita perjuangkan untuk bisa menikmati nasi itu.

Akan tetapi sangat menyesakkan ketika kita menanyakan tentang cita-cita terhadap segerombolan anak-anak SD di kelas, "aku  pengen jadi dokter", "aku mau jadi presiden", "ingin jadi pilot", semuanya cita-cita mereka bagus, tetapi sedikit sekali bahkan mungkin tidak ada seorang anak yang bercita-cita ingin jadi PETANI.

Kita tidak bisa menyalahkan mereka karena tidak ada yang memilih untuk menjadi petani, kita sebagai orang yang lebih dewasa seharusnya bisa membimbing mereka dan alangkah baiknya jika mulai dari dini kita berikan mereka pengertian bahwa petani sangat berperan penting dalam hidup mereka dan menjadi petani bukan berarti hidup dalam kesusahan seperti banyak diperlihatkan dalam sinetron yang sangat tidak bermutu (perasaan dari dulu sinetron 95% tidak sesuai dengan realita kehidupan). Ironisnya lagi anak-anak "dipaksa" untuk menonton sinetron tersebut karena pantat emaknya lengket di kursi gara-gara sinetron LOL..

Mari kita kembali ke pokok bahasan, next posting akan saya coba menulis tentang sinetron. Sampe' lali rek gara-gara bahas sinetron :) okay..banyak pandangan anak-anak sekarang menjadi petani adalah diharamkan, bahkan sekalipun dia anak petani yang bisa menjadi sarjana karena hasil dari tetes keringat bapaknya ketika mencangkul sawah. Mereka malah memilih untuk tetap tinggal di kota dengan harapan mendapatkan pekerjaan kantoran, berdasi, di ruangan AC (Angin Cuejuk), bergaji besar, dan ketika pulang ke kampung halaman mereka di desa akan dielukan dan disanjung karena dianggap telah berhasil di kota *sigh*...

Tidak sedikit sarjana pertanian, perikanan, peternakan yang malah mencari kerja di bank. Memang rejeki bisa dimana aja tetapi apakah tidak sayang jika mengingat bagaimana proses awal mereka masuk menjadi mahasiswa, sulitnya mencari bahan skripsi dan konsultasi ke dosen pembimbing, yang pada akhirnya disiplin ilmu mereka berehenti dan hanya berupa transkrip nilai dan ijazah. Terus kemana ilmu yang selama ini dipelajari dan diteliti?

Sebelum kita menyalahkan pemerintah dengan dalih pembangunan tidak merata ke daerah dan pedesaan, sarana prasarana yang kurang, perijinan yang rumit penuh birokrasi tai kucing, dana yang selalu "dicubit" oleh oknum, disamping itu ada yang perlu dikaji lebih dalam yaitu mendidik mental para mahasiswa di kota maupun di daerah agar mau kembali pulang dan membangun desa-desa mereka yang tersebar di seluruh indonesia sesuai dengan bidang ilmu masing-masing, jangan bisanya cuma tawuran aja (otak yang dipake bung, bukan tengkorak).

Kalau bukan mereka siapa lagi yang peduli untuk memajukan tanah kelahirannya, siapa yang akan mengolah sawah peninggalan leluhur mereka, siapa yang akan menyiapkan padi bagi anak cucu kita kelak,..seperti lagu dari slank "pak tani bajak sawah pake traktor, inspeksi numpak harley, bawa panen naik helikopter", semua itu bisa terjadi jika para pemuda bersatu membangun negeri ini. Jangan sampai anak cucu kita menjadi "Generasi Impor".

Maaf jika ada yang tersinggung dengan tulisan ini PISS 

No comments:

Post a Comment